"Nenek moyangku seorang… … KNIL", inilah judul dari sebuah segmen acara di Kompas TV pada tanggal 19 September malam, yang tentu saja menggugah rasa penasaran penulis.
Menurut sumber wikipedia, KNIL adalah singkatan dari het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, atau secara harafiah: Tentara Kerajaan Hindia-Belanda. Meskipun KNIL melayani pemerintahan Hindia-Belanda, banyak di antara anggota-anggotanya yang adalah penduduk bumiputra di Hindia-Belanda dan orang-orang Indo-Belanda, bukan orang-orang Belanda. Ketika berlangsung Perang Diponegoro, pada tahun 1826-1827 pemerintah Hindia Belanda membentuk satu pasukan khusus.Setelah Perang Diponegoro usai, pada 4 Desember 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan "Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger" di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk Hindia-Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Raja Willem I, tentara ini mendapat predikat "Koninklijk". Tahun 1936, jumlah pribumi yang menjadi serdadu KNIL mencapai 33 ribu orang, atau sekitar 71% dari keseluruhan tentara KNIL, di antaranya terdapat sekitar 4.000 orang Ambon, 5.000 orang Manado dan 13.000 orang Jawa.
Fakta di atas tentu mengejutkan bagi sebagian generasi muda di Indonesia, yang selama ini tidak/belum mengetahui sejarah nyata negerinya sendiri sedemikian rupa. Bahkan selama masa belajar di sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, selama pengalaman penulis tidak penah dibahas secara gamblang (bahkan singkatannya saja tidak paham).
Sesuai dengan perannya sebagai tentara bayaran Belanda pada masa penjajahan, orang Indonesia (warga pribumi) yang menjadi tentara KNIL mau tidak mau akan berhadapan dengan bangsanya sendiri. Hal tersebut karena tentara KNIL dibentuk untuk tenaga keamanan daerah kolonial, terutama untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh gerilyawan-gerilyawan di daerah, yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda, mulai dari perang Aceh, di Jawa, sampai akhirnya Belanda menyerah pada Jepang tahun 1942.
Satu hal yang paling menarik adalah kenyataan bahwa beberapa tokok pelaku sejarah bangsa ini, ikut serta dalam pendidikan kemiliteran (menjadi tentara) KNIL. Dua di antaranya (keduanya telah almarhum) adalah Jendral (purn) A.H. Nasution dan Jendral (purn) Soeharto mantan presiden Indonesia terlama yang kita kenal semua.
Pada tahun 1942, masa pendudukan Jepang, tentara KNIL bubar dan beberapa ada yang bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA/bentukan Jepang). Seorang yang juga mendaftar mengikuti pendidikan tentara PETA adalah Soeharto (pada waktu itu berpangkat sersan). Beliau mendaftar dengan menggunakan identitas bukan sebenarnya karena telah menjadi tentara KNIL.
Dengan menjadi tentara yang akan dibayar untuk memerangi saudara sebangsa sendiri, apa yang terpikir oleh pembaca? Mungkin orang-orang seperti Soeharto dan A.H. Nasution tidak sampai terpikir untuk menjadi tentara dan dengan sengaja bertujuan memerangi saudaranya sendiri. Tetapi polanya di sini terlihat seperti 'menempel' pada siapapun yang berkuasa. Mungkin saja itu sebagai bagian dari perjuangan untuk memperoleh pekerjaan dan karir, tetapi apakah secara mendasar tidak terpikirkan sampai sejauh mana pekerjaan/karir itu akan berdampak. Pembaca akan memiliki penafsiran tersendiri.
Susanti Arafat
Menurut sumber wikipedia, KNIL adalah singkatan dari het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, atau secara harafiah: Tentara Kerajaan Hindia-Belanda. Meskipun KNIL melayani pemerintahan Hindia-Belanda, banyak di antara anggota-anggotanya yang adalah penduduk bumiputra di Hindia-Belanda dan orang-orang Indo-Belanda, bukan orang-orang Belanda. Ketika berlangsung Perang Diponegoro, pada tahun 1826-1827 pemerintah Hindia Belanda membentuk satu pasukan khusus.Setelah Perang Diponegoro usai, pada 4 Desember 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan "Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger" di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk Hindia-Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Raja Willem I, tentara ini mendapat predikat "Koninklijk". Tahun 1936, jumlah pribumi yang menjadi serdadu KNIL mencapai 33 ribu orang, atau sekitar 71% dari keseluruhan tentara KNIL, di antaranya terdapat sekitar 4.000 orang Ambon, 5.000 orang Manado dan 13.000 orang Jawa.
Fakta di atas tentu mengejutkan bagi sebagian generasi muda di Indonesia, yang selama ini tidak/belum mengetahui sejarah nyata negerinya sendiri sedemikian rupa. Bahkan selama masa belajar di sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, selama pengalaman penulis tidak penah dibahas secara gamblang (bahkan singkatannya saja tidak paham).
Sesuai dengan perannya sebagai tentara bayaran Belanda pada masa penjajahan, orang Indonesia (warga pribumi) yang menjadi tentara KNIL mau tidak mau akan berhadapan dengan bangsanya sendiri. Hal tersebut karena tentara KNIL dibentuk untuk tenaga keamanan daerah kolonial, terutama untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh gerilyawan-gerilyawan di daerah, yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda, mulai dari perang Aceh, di Jawa, sampai akhirnya Belanda menyerah pada Jepang tahun 1942.
Satu hal yang paling menarik adalah kenyataan bahwa beberapa tokok pelaku sejarah bangsa ini, ikut serta dalam pendidikan kemiliteran (menjadi tentara) KNIL. Dua di antaranya (keduanya telah almarhum) adalah Jendral (purn) A.H. Nasution dan Jendral (purn) Soeharto mantan presiden Indonesia terlama yang kita kenal semua.
Pada tahun 1942, masa pendudukan Jepang, tentara KNIL bubar dan beberapa ada yang bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA/bentukan Jepang). Seorang yang juga mendaftar mengikuti pendidikan tentara PETA adalah Soeharto (pada waktu itu berpangkat sersan). Beliau mendaftar dengan menggunakan identitas bukan sebenarnya karena telah menjadi tentara KNIL.
Dengan menjadi tentara yang akan dibayar untuk memerangi saudara sebangsa sendiri, apa yang terpikir oleh pembaca? Mungkin orang-orang seperti Soeharto dan A.H. Nasution tidak sampai terpikir untuk menjadi tentara dan dengan sengaja bertujuan memerangi saudaranya sendiri. Tetapi polanya di sini terlihat seperti 'menempel' pada siapapun yang berkuasa. Mungkin saja itu sebagai bagian dari perjuangan untuk memperoleh pekerjaan dan karir, tetapi apakah secara mendasar tidak terpikirkan sampai sejauh mana pekerjaan/karir itu akan berdampak. Pembaca akan memiliki penafsiran tersendiri.
Susanti Arafat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar