Kamis, 24 November 2011

Dunia Terbius Indahnya Batik Indonesia


Dunia telah mengakui batik adalah milik Indonesia melalui pengakuan UNESCO pada 2 Oktober 2009. Hampir dua tahun industri batik Indonesia meningkat, tetapi ironisnya masih banyak pengrajin batik yang hidup susah.

Tak hanya Indonesia yang mengalami euforia ini, industri tekstil dunia pun ikut tenggelam dalam euforia Batik Indonesia sehingga terjadi persaingan yang justru semakin memojokkan industri batik tulis dan cap.

Batik print atau kain bermotif batik tersebar dan jadi primadona karena motifnya yang tak kalah bagus. Harganya juga jauh lebih murah dibandingkan batik tulis dan cap.

Hal yang menyedihkan, batik print asal China lebih banyak menguasai pasar. Bahkan pekan lalu, perancang Julien Macdonald menggunakan motif Mega Mendung pada koleksinya di London Fashion Week tanpa mengatakan bahwa motif tersebut berasal dari Indonesia. Ia justru lebih menjelaskan koleksinya terinspirasi dari China.

Ada pula produksi batik print yang dilakukan di Benua Eropa menyerupai desain-desain Batik Indonesia dan di jual ke benua Afrika. Masyarakat Afrika Barat sangat menyukai motif dan warna batik tersebut.

Namun sayangnya, lagi-lagi, batik tersebut bukanlah produksi Indonesia yang dikatakan sebagai negara pemilik batik. Fakta lainnya, ternyata juga terjadi kompetisi ketat di Eropa dalam hal penjualan kain bermotif batik di Afrika.

Jika ditilik dari sejarahnya, batik print dengan desain-desain khas nusantara memang sangat berkembang hampir di seluruh dunia sejak dahulu kala. Menurut Dr. Maria Wronska Friend, antropolog asal Inggris yang mengabdikan diri di Universitas James Cook, Australia, Batik Indonesia telah memengaruhi dunia sejak akhir abad 18 dan awal 19.

Batik masuk ke daratan Eropa sejak 1890 dan berkembang hingga 1930. Menurutnya, ada tiga alasan mengapa batik berkembang di Eropa. "Pada abad ke-19, seni Eropa sangat terpengaruhi oleh seni Asia, terutama Jepang. Seni lukis di Jepang pun terinspirasi dari Indonesia ketika negara ini menjajah Indonesia," ujar Dr. Maria dalam sebuah konfrensi di World Batik Summit 2011.

Gaya ornamen pada batik Indonesia, mirip dengan seni yang berkembang saat itu. Kesenian di Belanda pun terpengaruh batik sejak negara kincir angin tersebut menjajah Indonesia. Seiring berjalannya waktu, batik print semakin berkembang di Eropa.

Saat itu bahkan, tak hanya kain yang diberi motif batik. Di Belanda, motif batik menghiasi porselen, di Polandia, furnitur pun menjadi media sempurna bagi motif-motif tradisional. Industri tekstil bermotif batik di Eropa semakin berkembang.

Bahkan hasil produksinya pun dipasarkan kembali ke Indonesia karena produksi batik print lebih murah dibandingkan batik tulis atau pun cap. Perkembangan industri tekstil batik di Eropa pun tak hanya memengaruhi Eropa, Indonesia, tetapi juga Afrika.

Orang-orang Eropa memutuskan untuk menjual batik ke Benua hitam tersebut. Tak disangka, masyarakat Afrika sangat menyukai motif dan yang ada pada kain bermotif batik dan menjadi populer. Dengan sedikit penyesuaian dalam hal desain, mereka menggunakan batik untuk merayakan hari-hari besar mereka.

Bahkan diketahui mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson mandela adalah pencinta batik. Untungnya, ia lebih mencintai produk batik buatan Indonesia dibandingkan batik-batik yang tersebar di Afrika. "Nelson Mandela mungkin bisa dikatakan sebagai duta Batik Indonesia di dunia karena ia sering kali terlihat menggunakan batik Indonesia dalam acara-acara kenegaraan," kata Dr. Maria.

Tak hanya di Eropa dan Afrika, negara tetangga Australia pun terbius keindahan batik Indonesia. Perkembangan batik di Australia tak lain dan tak bukan karena proyek kolaboratif, di mana suku asli Aborigin belajar langsung dari orang-orang Indonesia yang berkunjung ke Australia.

Mereka menganggap batik sebagai aktivitas spiritual. Adapun desain yang berkembang adalah perpaduan antara kebudayaan Indonesia yang ditandai dengan wayang dan aborigin yang ditandai dengan cicak. Meskipun kain bermotif batik beredar luas, menurut Dr. Maria, Indonesia patut menjadi rumah dari batik-batik dunia.

"Ini karena teknik batik sesungguhnya yang menggunakan malam dan canting tidak berkembang di negara lain. Sehingga kualitas batik Indonesia lebih bagus dibandingkan negara lain," ungkap Dr. Maria.

Bahkan, gambar canting terdapat dalam catatan Sir Thomas Stamford Bingley Raffles 200 tahun lalu ketika ia menduduki Indonesia. Hal inilah yang semakin menguatkan bahwa batik milik Indonesia.

Secara harfiah, memang batik-batik yang berkembang di negara lain tidak dapat dikatakan batik, tetapi hanya kain bermotif batik. Sedangkan, batik sesungguhnya adalah kain yang diwarnai dengan malam menggunakan canting.

Namun, hal inilah yang menjadikannya sebuah dilema. Di saat harga batik tulis yang sarat akan nilai seni tinggi harganya sangat mahal, kain bermotif batik merajai pasar karena harganya yang sangat murah. Pengrajin batik tulis pun semakin termarjinalkan.

Batik Mark Indonesia

Sebenarnya, untuk menandakan orisinalitas Batik Indonesia, label Batik Mark Indonesia (BMI) cukup memberikan angin segar. Tak hanya menguntungkan pembatik, tetapi juga menghindari penipuan terhadap konsumen.

Namun sayangnya, label yang muncul sejak tahun 2009 ini seolah tenggelam karena sedikitnya sosialisasi. Itu karena tak semua pembatik menggunakan label ini.

Dengan BMI, konsumen sebenarnya dapat mengetahui jenis dan kualitas batik. Yaitu batik tulis ditandai dengan label emas, batik cap dengan label perak, dan batik kombinasi tulis dan cap dengan label putih.

Menurut Dr. Maria, Batik Indonesia memiliki masa depan cerah jika dikelola dengan baik. Itu karena keunikan Batik Indonesia tak terbantahkan. "Setiap gambar tangan memiliki keunikan tersendiridan takkan ada yang dapat menirunya," ujarnya.

Ada hal yang harus diperhatikan agar Batik Indonesia terus berkembang. Hal ini terkait motif dan inovasi. "Penggunaan motif yang sama pada setiap batik akan mematikannya. Itulah mengapa inovasi motif perlu dilakukan," kata Dr. Maria.

Tak hanya itu pengembangan teknologi yang dapat mendukung perkembangan industri ini harus dilakukan. Termasuk, mengembangkan pendidikan teknik membatik pada generasi muda dan memperjuangkan copyright motif.

"Copyright juga akan menjadi isu mengingat banyak yang bisa membuat motif batik hanya dengan mencetaknya dengan mesin," ujar Dr. Maria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar